Teori Ruang Perkotaan


Urban Space Theories
Mengenali isu perkotaan dari Teori Ruang Perkotaan

Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan, perlu untuk dipahami urban space theories atau teori ruang perkotaan. Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya spatial plan adalah wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK). Pada dasarnya konsep penataan ruang wilayah adalah untuk pemanfaatan pembangunan yang harus mengacu pada beberapa aspek seperti, keamanan, kenyamanan, produktifitas serta dapat bermanfaat secara luas bagi semua lapisan masyarakat.


Pertumbuhan sebuah kota di seluruh Dunia baik yang mulai berkembang atau sudah berkembang akan berkaitan dengan industrialis atau pra-industri yang mendorong nafsu manusia atau keingintahuan tentang aspek-aspek spasial kota khusunya lokasi mereka tinggal, pertumbuhan dan hubungan dari keduanya akan berpengaruh pada daerah sekitarnya atau yang  biasa disebut Peri-urban area. Namun, pola penggunaan lahan perkotaan yang berulang-ualang kesalahaanya harus dirumuskan dan diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang adil tentang hukum dan teori perkotaan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba melakukan penarapan hukum dan teori ruang kota (urban space) terhadap kota kita.

The Rank Size Rule, perlu untuk diketahui dan diaplikasikan bagi para ahli perkotaan sehingga kota dapat ditelaah dari berbagai issu perkotaan yang kompleks, sebagai berikut.
  • The relationships between city rank and city population size was first noticed by F. Auerbach in 1913, that when the rank numbers (from largest to smallest towns) are plotted against their respective population, a regular relationship generally emerges.
  • The “rank-size rule”, proposed by G. K. Zipf in 1949, states that if all urban settlements in an area are ranked in descending order of population, the population of the ‘nth’ town will be 1/nth that of the largest town.
  • Zipf’s rank-size rule can mathematically be expressed as Pn = P1/n where Pn is the population of the town of rank n in the descending order and P1 is the population of the largest city. Thus, if the largest city has a population of 50 lakhs, the tenth ranking town should, as per the rule, have a population of 5 lakh people.
Catatan:
''Melihat 'kota yang padat' dituliskan dalam buku Social Geography of the United States oleh J. Wreford Watson''.

Posisi teoritis dari margin bidang perkotaan dapat dihitung dengan menggunakan teknik yang dikenal sebagai teori titik pemutusan. A. E. Smailes membagi wilayah kota menjadi Area Inti, Area Luar dan Area Pinggiran.

The law of Retail Trade Gravitation  memprediksi proporsi perdagangan harga yang diambil dari area  pemukiman  simbol (k) yang terletak di antara area perkotaan. Oleh karena itu, sangat relevan dengan pertanyaan tentang batas teoritis dalam bidang perkotaan.

Teori Struktur Kota
Interaksi antara manusia dengan lingkungannya merupakan hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Hubungan tersebut mengakibatkan adanya pola penggunahan lahan yang beragam. Hal ini, disebabkan karena situasi dan kondisi lahan yang berbeda-beda dapat menuntut manusia sebagai pengguna yang menggunakan lahan semena-mena tanpa adanya pengontrolan dari para pemangku kepentingan. The use of nature harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang meliputi keadaan fisik lingkungan, keadaan sosial dan keadaan dari segi ekonomi. Oleh karena itu munculah beberapa teori, seperti teori konsentris, sektoral, inti ganda, konsektoral, poros dan historis, sebagai berikut.

Concentric Zone Theory, teori ini didasarkan pada pola hipotetis pertumbuhan perkotaan yang pertama kali pada tahun 1923 oleh seorang sosiolog perkotaan, E.W. Burgess, saat mempelajari morfologi perkotaan kota Chicago, Amerika Serikat. Melalui model ini, Burgess menyatakan bahwa pertumbuhan kota dari pusat komersial utamanya terjadi dalam serangkaian lingkaran konsentris. Burgess mengidentifikasi lima zona dalam pola konsentris yang berkembang ke luar dari inti kota. Berikut lima zona Burgess, seperti pada gambar berikut.
Ket :
Zona No. 1: Ini adalah C.B.D. (Central Business District), merupakan jantung dari sebuah Kota. Didalmnya terdapat toko, kantor, bank, teater dan hotel. Selain itu, memiliki gedung pencakar langit bertingkat, jalur transportasi yang terdapat pada. Zona ini. CBD menarik bisnisnya dari semua zona menjadi sebuah lingkaran;
Zona No. 2: Mengelilingi CBD, terletak wilayah tradisional, zona kerusakan perumahan, ditandai juga oleh perambahan bisnis dan manufaktur ringan. Ini adalah zona penderitaan perkotaan dari rumah-rumah petak dan daerah kumuh dan layanan yang tidak memadai;
Zona No. 3: Ini adalah Zona rumah pekerja;
Zona No. 4: Ini terdiri dari tempat tinggal kelas menengah, daerah pinggiran kota yang dicirikan oleh kemakmuran dan lapangan kerja yang lebih besar; dan
Zona No. 5: Ini adalah Pinggiran Kota yang terdiri dari komunitas-komunitas yang berada dalam asrama-asrama dari CBD, di mana sebagian besar penduduk yang aktif secara ekonomi mulai bekerja. Di sini terletak beberapa rumah hunian berkualitas tinggi.

Teori Sektoral
Teori ini diusulkan oleh Homer Hoyt dan M. R. Davie pada tahun 1939. Menurut teori ini, pola penggunaan lahan perkotaan dikondisikan oleh unit-unit kegiatan di perkotaan tidak mengikuti zona-zona teratur secara konsentris, tetapi membentuk sektor-sektor yang sifatnya lebih bebas, seperti pada gambar berikut.
Beberapa gambaran dari istilah diatas sebagai berikut.
  • C.B.D. (Central Business District)yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan
  • Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan
  • Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh
  • Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
  • Sektor permukiman adi wisma, yaitu tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.
Selain itu, teori ini juga berpendapat sebagai berikut :
[1] Daerah-daerah yang memiliki harga tanah atau sewa tanah tinggi biasanya terletak di luar kota; [2] Daerah-daerah yang memiliki sewa tanah dan harga tanah rendah merupakan jakur-jalur yang bentuknya memanjang dari pusat kota ke daerah perbatasan; dan [3] menurut Dinamis Colby pola kota mana pun pada titik tertentu adalah hasil dari kekuatan di tempat kerja, yaitu, ‘sentripetal’ dan ‘sentrifugal’. Gaya ‘sentripetal’ terdiri dari dua jenis: (i) penduduk dan orang-orang kelas bisnis yang mencari kenyamanan hidup di pusat kota terpikat ke kota; (ii) di dalam kota penduduk dan bisnis ditarik menuju C.B.D dari daerah pinggiran, C.B.D menyediakan akses yang lebih baik ke konsumen dan para pekerja. Ini adalah pusat utama kota dengan toko-toko, bank, perpustakaan dan teater. Gaya ‘sentrifugal’ hanya bertindak secara terbalik dan mendorong orang menjauh dari C.B.D ke pinggiran kota. Bahkan daerah kumuh dan padat yang memaksa orang dan kegiatan bisnis pindah keluar dari pusat kota.

Teori The Multiple Nuclei Theory
Teori inti berganda (multiple nuclei model) adalah model ekologi kota yang dibuat oleh Chauncy Harris dan Edward Ullman pada tahun 1945 dalam artikel "The Nature of Cities." Teori ini dibuat berdasarkan fakta bahwa ada kota-kota modern yang memiliki pusat bisnis, daerah industri dan pemukiman sendiri.

Von Thunen’s Model
Von Thunen memahami gagasan tentang model penggunaan lahan lanskap perkotaan dan pedesaan di sekitar kota memiliki lanskap yang beragam. Pada dasarnya adalah bagaimana nilai ekonomi menurun dari pusat kota ke pinggirannya dan sistem penggunaan lahannya di sekitar kota tanpa ada negara-negara bagian dengan perdagangan antar negara lain yang terlihat membentuk cincin. Sekitar kota, membentuk lingkaran hutan, rotasi tanaman, perkebunan dan Peternakan. Keutamaan teori ini adalah lebih menekankan pada penggunaan lahan pertanian di sekitar kota daripada penggunaan lahan di dalam kota.

Sinclair’s Model
Sinclair mengajukan model tipe cincin pada tahun 1967. Perkembangan intensitas cincinnya berbanding lurus dengan tingkat pengaruh urban dalam bentuk pajak perkotaan yang tinggi, terkendala zonasi dan gangguan di sekitar daerah perkotaan. Teori ini juga didukung oleh dua penulis Inggris, Best dan Gosson. Mereka percaya ada pergeseran yang didukung oleh meningkatnya persaingan dari daerah-daerah yang jauh dengan fasilitas produksi yang lebih baik, dan hilangnya tenaga kerja lepas ke pekerjaan kota oleh petani pinggiran desa-kota.

Berikut pola penggunaan lahan yang dikemukakan oleh Sinclair di sekitar area metropolitan yang berkembang sebagai berikut: 
  • Urban framing dekat dengan kota
  • Tanah kosong dan pepohonan yang lebat
  • Tanah ladang dengan lahan yang menjanjikan
  • Pekerjaan menghasilkan dan menggarap lahan pertanian
  • Makanan khusus gandum, serta makanan ternak
Selain itu, bisa dipahami melalui grafik berikut :
Catatan :
Sebuah studi perintis tentang CBD dilakukan oleh ahli geografi Amerika R. E. Murphy dan J.E. Vance Jr. Pada tahun 1951, berdasarkan penelitian terhadap 36 kota, ekonom C. Clark menggambarkan pola kepadatan penduduk di kota mana pun. Sebagai contoh Hypermarket adalah pusat perbelanjaan luar kota yang direncanakan secara hati-hati.

The Central Place Theory
Teori central place dikaitkan dengan lokasi layanan yang optimal secara ekonomis dari berbagai tingkatan yang berbeda-beda. Karena kota sebagai penyedia layanan dan pedesaan sebagai pengambil jasa. Istilah "tempat sentral" pertama kali digunakan oleh Mark Jefferson pada tahun 1931, sementara mendefinisikan pemukiman yang harus menjadi fokus dari berbagai kegiatan ekonomi dan sosial untuk daerah sekitarnya. Walter Christaller menganalisis 'sentralitas' secara terperinci pada tahun 1931, di Jerman Barat, atas dasar jumlah sambungan telepon di suatu tempat sebagai kriteria utama untuk menentukan hierarki. Kemudian A. Losch melakukan beberapa modifikasi terhadapnya.

Sediki ulasan mengenai multiple nuclei model [*perhatikan gambar] oleh Christaller mengusulkan bahwa pemukiman dengan spesialisasi urutan terendah akan sama-sama berjarak dan dikelilingi oleh area layanan berbentuk heksagonal atau pedalaman. Dia mengasumsikan harga tanah yang stabil, permukaan tanah yang sama dan karakteristik isotropik tanah. Menurut dia, pusat-pusat terkecil akan terletak sekitar 7 km. selain. Dia juga menguraikan hierarki sesuai dengan nilai K:

K=3 mewakili Prinsip Pemasaran. Ini mendukung pengembangan hirarki bertingkat simetris dari tempat-tempat sentral. Prinsip ini mendalilkan bahwa hasil pedesaan datang ke pusat orde yang lebih tinggi melalui pusat pesanan yang lebih rendah dan barang-barang yang diproduksi di daerah perkotaan bergerak melalui pusat pesanan yang lebih tinggi ke pusat pesanan yang lebih rendah.

K=4 mewakili Prinsip Lalu Lintas. Dalam prinsip ini, jumlah pusat mengikuti perkembangan geometris sebagai 1,4,16,64, dan seterusnya. Pada tingkat ini, satu pusat besar melayani 4 pusat pesanan yang lebih rendah.

K=7 mewakili Prinsip Administrasi. Pada tingkat ini, satu tempat utama yang lebih besar melayani tujuh pusat orde kedua.

Pada tahun 1940, ekonom A. Losch mempresentasikan modifikasi penting dari Model Christaller. Seperti Christaller, ia kembali menggunakan area layanan heksagonal, tetapi memungkinkan berbagai sistem heksagonal untuk hidup berdampingan. Dia mengembangkan bentuk lanskap ekonomi yang lebih canggih dengan melapiskan semua berbagai sistem heksagonal.

Nested Hierarchy Theory
Teori kumpulan hirarki oleh A. K. Philberk, seorang ahli geografi Amerika berdasarkan teori hierarki bertingkat dijelaskan sebagai berikut:

Inter-koneksi antara pekerjaan yang berbeda yaitu, pertanian, pemeliharaan ternak, penambangan, manufaktur, industri dan perdagangan ditemukan di antara area seragam yang homogen dalam hal pekerjaan.

Asal daerah sentral/pusat - di satu daerah terdapat pusat daerah yang ditemukan seragam dan berbeda terhubung dengan titik fokus. Contoh wilayah sentral bisa menjadi salah satu kota yang terbuat dari bangunan tua yang berbeda-beda.

Hirarki organisasi sentral - ini adalah penerapan dari ketiga teori hirarki bertingkat yang terkait dengan pengaturan unit hunian. Hierarki ini berubah dari hubungan yang seragam ke organisasi terpusat.





Urban Sprawl


Sprawl Perkotaan

Semakin Bertambah Penduduk Kota, Maka Semakin Bertambah Kebutuhan Masyarakat Terhadap Jumlah Lahan yang Digunakan

Kepadatan kota adalah salah satu isu sentral dalam perdebatan para ahli perkotaan di abad ke-21, dalam menjawab tentang masa depan perkotaan itu sendiri. Meningkatnya jumlah penduduk perkotaan, meningkat pula tuntutan kebutuhan kehidupan dalam berbagai aspekaspek seperti, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi yang mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk diperkotaan. Keseluruhaan merupakan kontradiksi antara kepentingan pribadi dan publik dalam kaitannya dengan kerapatan kehidupan perkotaan atau linkage kota.

Fenomena urban sprawl terjadi saat suatu kota sedang mengalami pertumbuhan, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah populasi penduduk dan jumlah area lahan secara acak (growth mixture). Selain itu, fenomena Urban sprawl juga memiliki dampak yang positif, yaitu menjadikan rumah/perumahan berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun, fenomena ini ternyata juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi komunitas/kelompok, masyarakat di sekitarnya.



Semakin bertambah penduduk kota menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lain. Urban sprawl terjadi dengan ditandai adanya alih fungsi lahan yang ada di sekitar kota (urban periphery) mengingat terbatasnya lahan yang ada di pusat kota. Urban sprawl merupakan salah satu bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota. Dampak dari pemekaran kota adalah semakin berkurangnya lahan subur produktif pertanian sehingga mengancam swasembada pangan karena terjadi perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Disamping itu pemekaran kota yang tidak terkendali (unmanaged growth) menyebabkan morfologi kota yang tidak teratur, kekumuhan (slum), dan permukiman liar (squatter settlement).

Densification of urban areas beyond the core of the cities is not an easy task but it is a challenge worth taking to fight against urban sprawl
-ypauwah-


Paradigma urban sprawl :
Urban sprawl refers to the areal expansion of urban concentration beyond what they have been. Urban sprawl involves the conversion of land peripheral to urban centers that has previously been used for non urban uses to one or more urban uses (Northam, 1975). Urban sprawl can be defined of growth of metropolitan area through the process of development of miscellaneous types of land use in the urban fringe areas (Dumouchel, 1975). Urban sprawl refers to continous expansion around large cities, where by there is always a zone of land that is in the process of being converted from rural to urban use (Harvey and Clark, 1971). Suggested the expanded dimensions of sprawl such as continuity, concentration, clustering, centrality, nuclearity, mixed use and proximity. Finally, urban sprawl causes the loss of informal open space and wildlife habitats. Some of the fastest rates of loss have been occurring at the interface of urban core and rural areas at the metropolitan region (Galster et al, 2001 and Harvey et al, 1971). blamed the loss of farmland and forest to urban development and high degrees of sprawl (Hasse, 2003). Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut “urban sprawl” (Yunus, 2004). Sprawl offers a completely new vision of the city and its growth. (Bruegmann 2005) leads readers to the powerful conclusion that "in its immense complexity and constant change, the city-whether dense and concentrated at its core, looser and more sprawling in suburbia, or in the vast tracts of exurban penumbra that extend dozens, even hundreds, of miles-is the grandest and most marvelous work of mankind.

Issu urban sparwl sebagai suatu proses perubahan fungsi dari wilayah yang bernama perdesaan menjadi wilayah perkotaan. Perdesaan yang selama ini dianggap sebagai penyokong kehidupan perkotaan yang membantu kota dalam pemenuhan kebutuhannya terutama dalam bidang pertanian, budidaya, kawasan lindung dan non-industri, justru mengalami kenaikan tingkat fungsi guna lahan, menjadi kawasan permukiman padat penduduk, bahkan kawasan industri. Banyak alasan yang mendasari terjadinya fenomena urban sprawl ini. Mulai dari perilaku masyarakat yang lebih memilih untuk bermukim diarea pinggiran kota, asumsi harga lahan yang lebih murah dan terjangkau serta kondisi udara yang masih sehat, belum banyak tercemari seperti pusat kota. Selain itu alasan yang juga menyebabkan masyarakat memilih tinggal diarea pinggiran kota adalah karena belum terlalu padat penduduk yang ada disana, jika dibandingkan dengan kawasan perkotaan, Ditambah karena memiliki akses yang dekat untuk menuju ke pusat kota.

Berdasarkan pandangan teoritis dan artikel terkait, saya berasusmi. Sprawl perkotaan dapat disebabkan oleh berbagai hal yang berbeda, sperti :
  1. Turunkan harga tanah : Biaya tanah dan rumah di pinggiran luar kota, karena pusat pengembangan perkotaan benar-benar membuat orang ingin berhenti menetap di daerah-daerah ini dan ingin menjelajah lebih jauh.
  2. Peningkatan infrastruktur : Peningkatan infrastruktur tertentu, termasuk jalan, telekomunikasi, dan listrik tidak selalu tersedia, dan masih ada beberapa area yang tidak memiliki kemewahan.
  3. Kenaikan standar Hidup : Peningkatan standar hidup dan pendapatan keluarga rata-rata yang berarti bahwa orang memiliki kemampuan untuk membayar lebih banyak untuk melakukan perjalanan dan perjalanan jarak yang lebih jauh untuk bekerja dan kembali ke rumah.
  4. Kurangnya perencanaan kota : Kebanyakan orang suka menemukan daerah yang kurang diperdagangkan dan lebih tenang, yang menyebabkan mereka menyebar ke bagian lain kota. Perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, penebangan pohon, hilangnya lahan hijau, kemacetan, infrastruktur yang buruk memaksa orang untuk pindah ke daerah baru.
  5. Tarif pajak rumah bawah : Kota biasanya akan memiliki pajak properti yang tinggi dan kebanyakan orang biasanya dapat menghindari pajak dengan tinggal di pinggiran luar dengan alasan pajak lebih rendah daripada di perkotaan.
  6. Kenaikan pertumbuhan populasi : Faktor lain yang berkontribusi terhadap urban sprawl adalah peningkatan pertumbuhan penduduk . Karena jumlah orang di suatu kota tumbuh melampaui kapasitas, komunitas lokal terus menyebar lebih jauh dan lebih jauh dari pusat kota.
  7. Preferensi konsumen : Orang-orang dalam kelompok berpenghasilan tinggi memiliki preferensi yang lebih kuat terhadap rumah yang lebih besar, lebih banyak kamar tidur dan halaman yang lebih besar. Hal tersebut menyebabkan urban sprawl karena opsi ini tidak tersedia di kota-kota yang padat.




Keberadaan urban sprawl ditandai dengan adanya beberapa perubahan pola guna lahan yang terjadi secara serempak, yaitu Single-use zoning, Low-density zoning dan  Car-dependent communities. Menurut informasi yang didapat, ternyata fenomena urban sprawl ini lebih memiliki banyak dampak yang negatif bagi lingkungan sekitarnya, daripada dampak positif yang ditimbulkan. Namun dampak-dampak negatif tersebut sebenarnya dapat diatasi. Karena urban sprawl sendiri bukanlah suatu fenomena yang tidak bisa untuk dihindari. Salah satu caranya adalah dengan penerapan kebijakan yang lebih tegas dari pihak yang berwenang untuk membatasi stakeholder yang ingin melakukan ekspansi dalam hal perluasan kota ini.


PUSTAKA
Bruegmann, R. 2005.  Sprawl: A Compact History, University of Chicago Press.
Dumouchel, J.R., 1975. Dictionary of Development Terminology. McGraw-Hill, New York, NY
Galster, G., Royce H., Michael R., Harold W., Stephen C. and Jason F., 2001, Wrestling sprawl to the ground: Defining and measuring an elusive concept. Housing, Policy Debate, 12, 4, pp. 681–718.
Harvey, R. O. and W. A. V. Clark. 1971. The nature and economics of urban sprawl. In Internal Structure of the City, ed. L. S. Bourne. New York: Oxford University Press. pp. 475–482. Hasse, J. E., & Lathrop, R. G. 2003. Land resource impact indicators of urban sprawl. Applied Geography, 23, 159–175.
Hasse, J. E., & Lathrop, R. G. 2003. Land resource impact indicators of urban sprawl. Applied Geography, 23, 159–175.
Ivan.tosics : http://urbact.eu/densification-beyond-city-centre-urban-transformation-against-sprawl
Northam, R., M. 1975. Urban Geography. Newyork, London: Oregon State University John Wiley and Sons.
Yunus, Y. 2004. Tanah dan Pengolahannya, Alphabeta, Bandung.
Yunus, H., S., 2004, Struktur Tata Ruang Kota, edisi ke empat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta